aku

24 August 2016

Gemeinschaft Thought atau Gesselschaft Thought?

Saya sering bicara hal ini di kelas dengan para siswa yang usia muda, usia belia. Beda antara Gemeinschaft dan Gesselschaft. Tentang sikap, bukan kebendaan. Tentang perilaku, bukan kepunyaan.

Ferdinand Tonnies secara tegas membagi masyarakat ke dalam 2 kelompok besar, "orang kota" dengan "orang desa". Bukan seberapa banyak gedung atau kerbau yang dimiliki seseorang, bukan pula Bahasa Ibu dengan Bahasa Daerah yang digunakan, tetapi sekali lagi tentang perilaku.

Anak-anak yang kebetulan saya ajar, jelas mereka tergolong Gesselschaft. Berpikir dan bertingkah khas orang kota, tidak perlu bicara kepunyaan, tapi punya segala yang mereka inginkan. Pun yang mereka butuhkan. Berpikir logis, tentang hal-hal yang masuk akal. Penuh perhitungan antara untung-rugi meski kenal teman sekelas. Kepribadian ramah pada yang kenal, bersikap acuh pada yang tak kenal. Fokus memikirkan masa depan dan pergaulan diri sendiri, tidak peduli orang lain jungkir balik di sekitarnya.

Saya setengah Gesselschaft.

Mencintai keengganan untuk tidak terlalu ramah pada banyak orang. Fokus pada hal-hal yang menyenangkan bagi pribadi. Impersonal, jelas. Dan selalu punya waktu untuk aktualisasi diri sendiri.

Saya setengah Gemeinschaft.

Saya berpikir bagaimana suku mengajarkan nilai dan norma yang baik. Saya mahfum pada penilaian kepintaran menurun dari orangtua. Menghadiri beberapa acara ritual keagamaan. Beragama. Punya sahabat-sahabat yang hubungannya solidaritas mekanis. Intimate -kepada siapapun yang menghargai kehadiran saya disitu-. Juga mencintai kegotongroyongan khas Indonesia.

Kemudian yang menjadi anomie banyak orang rantau datang ke jakarta adalah, apakah mereka harus ada di sisi "kota", atau kekeuh di sisi "desa".

Beberapa terlihat memegang gadget keluaran teranyar dengan earphone yang tak lepas dari telinga. Sekian persen terlihat suka hilir mudik ke mall ketimbang mudik beneran ke kampung halaman. Segilintarnya suka mengupdate kegiatan diri atau wajah bangun tidur yang no-make-up di sosial media. Banyak juga yang membuka video clip lagu-lagu Barat, tapi kemudian mencela apa yang mereka dengar dan tonton sendiri. Mereka tidak mau terima disebut hedonisme atau westernisasi, tapi berusaha untuk kita sebut sebagai "gesselschaft"?

Namun, ada beberapa orang rantau yang terlihat mengejar mimpi. Ambisius menaiki jabatan. Kerja keras siang dan malam. Sekian persen terlihat elegan dengan mengikuti kursus penambah kualitas diri. Kursus berbahasa asing dan keterampilan demi punya kesempatan emas di masa depan. Segilintirnya suka mengupdate kegiatan sosial. Mengayomi anak-anak panti atau jompo dengan semangat berbagi. Banyak juga yang membuka video-video menggugah wawasan dari motivator motivator yang super handal. Mereka tidak malu disebut "gemeinschaft", tapi berpikir global dan berbuat banyak bagi orang sekitar.

Tidak ada yang salah dengan Gemeinschaft thought ataupun Gesselschaft thought. Pemikiran orang tidak bisa kita penjarakan, tidak juga untuk di-judge. Barangkali Tonnies terlalu rasional dengan cukup mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan sikap secara empirik. Berdasarkan kenyataan sikap dan pemikiran orang, bukan suku dan asal daerah orang.

Tapi ada satu quotes yang saya temukan secara random di instagram yang cukup menggelitik hati dan tenggorokan saya, "Worry about your character, not your reputation. Your character is who you are. Your reputation is who people think you are".

Salam olahraga!