After Chinese Premier Zhou Enlai snidely described him as
“like a banana—yellow of skin, but white underneath,” he soon dropped the Anglicized “Harry” and become, simply,
Lee Kuan Yew. (The Wall Street Journal, 27 Maret 2015)
Siang itu, Minggu 29 Maret 2015, pada saat tanah air sedang
berduka atas berpulangnya salah satu komedian terbaik Indonesia, Olga
Syahputra, langit negara tetangga pun sedang menunjukan rundungan dukanya yang
mendalam. Turun hujan cukup deras mengiringi upacara pemakaman Bapak Bangsa
Singapura, Lee Kuan Yew, yang meninggal dunia dalam usia 91 tahun.
Bagi saya, begitu banyak catatan yang perlu diingat dari Lee Kuan Yew, pendiri
negara kecil yang dulu dikenal dengan sebutan Temasek di sebrang Pulau Batam
itu. He preached ‘Asian values’ and
turned a tiny, poor city-state into an astonishing economic success. Ia
menyulap negri yang miskin akan sumber daya alam itu menjadi barometer
kesejahteraan bagi negara-negara di sekitarnya. Singapura, yang letaknya berada
di wilayah asia tenggara, tapi punya tingkat kesejahteraan hidup yang setara
dengan negara-negara dunia pertama.
Meski tak punya "sumur", Singapura menawarkan fasilitas
kilang minyak yang mumpuni. Kilang-kilang mereka mampu menghasilkan satu juta
barel minyak per hari. Negara yang luasnya hanya setengah dari Kota Jakarta ini
bahkan memfasilitasi "surga belanja" bagi kalangan kaya dari luar
negeri sebagai penambah pundi-pundi kas negaranya. Lee membuka
lebar-lebar pintu investasi bagi banyak negara untuk bekerja sama dengan
Singapura di bidang ekonomi. Kalau soal kebersihan dan penegakkan di bidang
hukum? jangan ditanya. Lee Kuan Yew mendesain Singapura menjadi negara yang tak
ramah pada koruptor. Beliau sengaja memberikan gaji tinggi bagi pegawai
pemerintah sebagai langkah preventif agar tak ada lagi yang korupsi. Barangkali
cara ini juga yang diwacanakan oleh Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta pada saat
kemarin kita sempat ribut-ribut mengenai gaji PNS DKI yang jumlahnya
"wow".
Jika kita menengok ke belakang, saat Lee belum
lama pulang dari Inggris menyelesaikan sekolah Sarjana Hukum, ia terpilih
sebagai perdana mentri tahun 1959, saat itu Singapura punya PR yang begitu
banyak untuk dirapikan. Seperti yang dikutip oleh Merdeka.com, 24 Maret
2015 menyebutkan bahwa "Kehancuran infrastruktur masih membayangi
akibat pendudukan Jepang selama 1942-1945. Nyaris 70 % penduduk miskin, warga
peranakan Tionghoa, India, dan etnis lain berjubel di pemukiman kumuh, malaria
menjangkit dimana-mana. Belum lagi kondisi Singapura yang tidak memiliki SDA
dan akses air bersih". Berada di limbah kemelaratan tersebut, tidak
membuat Lee berputus asa. Beliau merasa begitu banyak jiwa yang harus
diselamatkan, yang perlu diberi pendidikan yang tinggi, dan pengajaran tentang
bagaimana cara bertahan hidup -dan untuk terus hidup membangun negara.
Sebagai
orang yang pernah belajar di Eropa, Lee bahkan tidak hendak menerapkan sistem
demokrasi sebagaimana diajarkan oleh orang-orang kulit putih. Baginya, untuk negara berkembang, demokrasi negara
Barat merepotkan pembangunan. Selama 3 dekade ia menjabat, Lee menjalankan
roda pemerintahan seperti memanajemen sebuah perusahaan. Nilai positifnya
adalah bahwa seorang boss akan mengupayakan apapun agar
perusahaan yang dibangunnya dari bawah menjadi semakin maju, karena apabila
bangkrut, maka selesailah riwayatnya. "Kesejahteraan karyawan"
menjadi indikator penting baginya pada saat itu. Lee membuat berbagai kebijakan kontroversi, mulai dari permen karet hingga dekrit tentang harta warisan yang tidak boleh diberikan lansia kepada anak-anaknya sebelum mereka meninggal dunia.